HB JASIN

Di samping mendapat julukan “Paus” Sastra Indonesia, Hans Bague Jassin juga dipanggil administrator dan diktator sastra. Ia pernah memukul Chairil Anwar. Dihukum 1 tahun penjara gara-gara cerpen Langit Makin Mendung. Inilah orang yang telah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia. Lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917, mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, juru peta sastra Indonesia yang tak pernah lelah. Sebagian kisah hidupnya yang disampaikan lewat Leila S. Chudori ini adalah atas permintaan TEMPO.
Tanggal 2 September 1970.
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Pusat penuh sesak. Ada wartawan, seniman, ulama, mahasiswa, pelajar. Semua memandang saya. Hakim Ketua Anton Abdurrachman Putra, S.H. mengangkat mukanya dan bertanya, “Saudara Jassin, kapan Anda siap membacakan pembelaan Anda?” “Sekarang.” Suara saya meluncur, tegas dan pasti.
Hari itu juga saya memang mantap membacakan pembelaan cerpen Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin. Sudah saya siapkan sejak keributan meletus di Medan, sepanjang 100 halaman, setelah cerpen yang dimuat di majalah Sastra itu beredar. Saya berdiri sambil membaca. Saya lihat Hamka, saksi yang memberatkan, mendengarkan dengan saksama. Ruang pengadilan begitu hening. Seluruh ruangan hanya terisi oleh suara saya yang bergelombang dan penuh keharuan.
Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri. Hampir tiga jam saya membacakan pleodoi bagi imajinasi pengarang yang hingga kini belum pernah saya lihat batang hidungnya itu.
“Apakah kita harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan telinganya, mematikan perasaannya, dan melumpuhkan pikirannya buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya?” tanya saya dalam pembelaan itu. Akhirnya hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun bagi saya. Tapi hingga kini saya tak sempat mengalami pengapnya empat tembok mati itu.
Saijah dan Adinda
Jika saya tengok ke belakang dan mengenang peristiwa demi peristiwa satu per satu, rasanya saya sedang membuka dokumen kehidupan. Lihatlah itu, si Jassin kecil yang sedang bermain-main di pekarangan di suatu sore pada 1924. Kala itu saya baru tujuh tahun. Kami berdua, Ibu dan saya, tinggal di Gorontalo. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di Balikpapan. Tapi kemudian saya ketahui bahwa mereka sedang berpisah untuk sementara. Tiba-tiba seorang tuan berdiri tegak di pekarangan. Ia mengenakan helm dan melangkah menghampiri saya. Dipeluknya tubuh saya. Saya memberontak minta dilepaskan.
Ternyata, tuan itu adalah ayah saya. Rupanya, Ayah dan Ibu memutuskan untuk rujuk. Hari-hari bersama Ayah kembali adalah hari penuh disiplin. Sebagai anak tunggal saat itu kakak perempuan saya, Hapsah, meninggal di Sangihe — saya diharapkan Ayah berhasil dalam pendidikan. Ayah saya sendiri seorang otodidak. Bacaannya sangat luas, dari fiksi hingga ilmu bumi dan alam. Meski ia bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) antara 1902 dan 1905, ia tidak memiliki ijazah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Tapi karena bacaannya yang luar biasa, ia mampu ujian dan lulus Klein Ambtenaar Examen (ujian persamaan HIS).
Mungkin karena itulah Ayah lebih menyukai saya belajar atau membaca buku daripada bermain. Ayah benar-benar mengondisikan saya untuk terus-menerus akrab dengan bacaan. Tak jarang ia minta saya membacakan koran-koran berbahasa Belanda ketika ia beristirahat makan siang. Selain koran Belanda, Ayah juga berlangganan Suara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), majalah dari partai yang didirikan oleh dr. Soetomo. Itu sebetulnya terlarang bagi seorang kerani BPM yang baik.
Lemari buku Ayah selalu saya buka. Saya lalap, termasuk yang terlarang. Bayangkan, Roos van Batavia dan Melati van Agam sudah saya baca, padahal itu bukan bacaan anak-anak. Karya sastrawan Prancis, Eugene Sue, yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda jadi De Verborgenheiden van Parijs (Rahasia-Rahasia Kota Paris) saya lahap pula. Ada lagi empat serial buku Sexuele Zeden in Woord en Beeld (Tingkah laku seksual dalam Kata dan Gambar) yang diam-diam saya nikmati pula …. Karena di kota saya tidak ada HIS, Ayah menyuruh saya berguru pada seorang istri kerani, teman Ayah. Dan ketika HIS didirikan di Gorontalo pada 1926, saya langsung masuk kelas 2.
Kegemaran saya membaca buku kemudian ditunjang oleh fasilitas 2 macam perpustakaan: perpustakaan untuk anak-anak dan untuk umum. Dari perpustakaan umum sering pula saya meminjam buku untuk Ayah. Pelajaran bahasa di sekolah itulah yang kemudian memperluas perhatian saya pada sastra. Ketika itu anak-anak HIS diwajibkan menghafal sajak-sajak Belanda dan membacakannya di muka kelas. Terkadang kami diperintahkan bercerita dalam bahasa Belanda. Maksudnya agar bisa bersentuhan langsung dengan bahasa tersebut tanpa terlalu dipagari tata bahasa. Kami juga belajar bahasa Melayu. Buku bacaan bahasa Melayu kami yang pertama adalah Rempah-Rempah. Melalui bacaan ini saya masuk ke dalam dunia binatang yang mampu berkomunikasi.
Baru kemudian, ketika saya sudah kuliah di Fakultas Sastra, saya ketahui bahwa cerita-cerita itu diambil dari Hitopadesya, buku sastra anak-anak yang sangat terkenal dan tersebar di banyak negara di dunia. Buku lain yang melekat dalam diri saya ketika anak-anak ialah karya klasik Melayu tulisan Arab, Hikayat si Miskin. Ketika saya duduk di kelas 4 HIS, saya berkenalan dengan sebuah cerita yang di kemudian hari terus-menerus meringkus perhatian saya: Saijah dan Adinda. Kepala sekolah membacakannya di muka kelas dengan mimik dan intonasi yang sesuai dengan tuntutan cerita. Saijah dan Adinda merupakan bagian dari roman besar Max Havelaar, sebuah roman serius karya pengarang Belanda, Multatuli.
Saat itu kami belum dapat menangkap seluruh keindahan karya dalam bahasa Belanda itu. Tapi saya sudah dapat merasakan kesedihan yang diungkapkannya. Seingat saya, di situlah saya jatuh cinta pada buku-buku sastra. Ketika suatu kali saya jatuh sakit, Ayah bertanya apa yang saya inginkan sebagai oleh-oleh. “Buku,” jawab saya serta-merta. Ia tersenyum dan pulang membawakan buku-buku penuh gambar. Meski saya sedang sakit, betapa bahagianya saya membaca buku-buku itu.
Ketika di HIS itu pula saya belajar menulis. Kami sering dibawa piknik oleh guru-guru, dan pulangnya diwajibkan menulis tentang perjalanan itu. Tulisan yang dianggap baik dibacakan di muka kelas. Dan, ah, si Jassin kecil ketika itu dikenal sebagai voorlezen, si tukang baca cerita yang baik. Bayangkan, waktu itu saya baru kelas 4 HIS. Saya digandeng untuk membacakan cerita di muka anak kelas 5. Saat itu saya juga mencoba-coba menulis puisi. Lahirnya puisi ini karena kekaguman saya pada seorang gadis manis bernama Mastinah. Ia bersuara merdu dan pandai mengaji. Saya tidak mengenalnya, hanya melihat fotonya di album. Ada perasaan untuk berkomunikasi dengannya. Tapi saya tak tahu alamatnya. Maka, lahirlah puisi itu. Bayangkan, ketika itu saya baru berusia 12 tahun. Tapi celaka. Ayah mencurigai saya. Saya sangat takut dan malu. Ketika itu saya tengah berlayar. Maka, cepat-cepat saya buang sajak itu ke laut. Waduh, sayang sekali ….
Sekitar tahun 1933, saya mulai menginjak HBS Medan. Pengetahuan dan kecintaan saya terhadap sastra mulai menukik. Saya berkenalan dengan kesusastraan Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Saya harus membaca sekitar 24 buku sastra Belanda, dan untuk bahasa lainnya masing-masing delapan buku. Saya menelaah buku-buku itu dengan intens, dari persoalan plot hingga karakterisasinya. Inilah perjumpaan awal saya dengan pelajaran evaluasi karya sastra secara akademis. Helai pertama dokumen kehidupan saya di HBS melontarkan saya pada kenangan seorang guru sastra Belanda, Korpershoek. Seorang yang gagah, menarik, dan bersuara bagus. Dialah yang memperkenalkan saya pada pendekatan kritik sastra dan cara mendalami karya-karya klasik. Dia pula yang memperkenalkan saya pada De Tachtigers Beweging, Gerakan 80-an di Belanda. Begitu kagum saya pada pengetahuan sastranya, hingga saya ingin membagi kesenangan saya dengannya.
Saat itu, saya sudah menikmati majalah sastra Pujangga Baru. Nama-nama Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane menumbuhkan kekaguman saya karena karya-karya mereka yang tak kalah dengan sastra Belanda. Maka, dengan penuh semangat, saya tunjukkan majalah itu kepadanya. “Tuan, kami juga memiliki Tachtiger Beweging di Indonesia.” Tapi si tuan hanya melirik dengan ekor matanya. Aduh, sakit hati saya dengan sikap guru yang saya kagumi itu. Rasa nasionalisme saya terpukul. Saya sangat mencintai tanah air dan bahasa saya. Kenapa ia tak menghargai karya sastra Indonesia? Sejak itulah saya bertekad bekerja penuh bagi sastra Indonesia.
Rupanya, kekecewaan terhadap Korpershoek ada hikmahnya, menumbuhkan tekad pada diri saya. Lembaran dokumen kehidupan saya selanjutnya adalah surat-surat Leila. Ah, mengingat Medan artinya mengingat Leila. Seorang gadis Tapanuli yang besar di Solok. Seorang gadis yang bertutur lembut dan penuh perhatian. Seorang yang memiliki senyum yang tetap mengikuti saya hingga ke Gorontalo. Saya bertemu dengan Leila di perkumpulan pemuda Inheemse Jeugd Organisatie. Saya sekretaris perkumpulan itu, sedangkan Leila anggotanya. Mulanya biasa saja. Di pertemuan-pertemuan itu, kami sering berbincang. Meski perhatian Leila tumpah pada saya, saya belum menyadari arti Leila hingga saya ke Gorontalo. Hubungan kami lebih banyak melalui surat-menyurat. Surat-surat itu saya kirim dari Jakarta, karena pada 19 itu saya sudah pindah ke Jakarta, sementara Leila mengirimkan balasannya dari Medan. Surat-menyurat itu mengungkapkan perasaan-perasaan kami.
Suatu hari di akhir 1941, ada ketukan di pintu rumah. Ah, senyum Leila mengembang. Kami pun mengisi pertemuan itu dengan jalan-jalan, naik perahu di Tanjungpriok di bawah sinar bulan. Saat itu, kami belum membicarakan soal pernikahan. Yang saya ingat betul adalah “rasa senang”. Kemudian Jepang datang, dan hubungan kami pun terputus. Dan, ah, orangtuanya tak dapat menunggu keadaan yang tak pasti itu. Akhirnya, ia dikawinkan dengan orang lain. Hati saya runtuh. Itulah sebabnya, barangkali, saya tak terlalu bahagia untuk mengenang hal yang sudah lalu.
Jadi Wartawan Medan, bagi saya, juga mengingatkan pada seorang tokoh pers nasional, Adinegoro. Pada akhir 1930-an, semangat pemuda sedang meluap-luap menginginkan kemerdekaan. Ketika itu Adinegoro memimpin dua penerbitan, yaitu harian Pewarta Deli dan majalah Lukisan Dunia. Saat itu saya sudah 17 tahun dan mulai menulis di beberapa media, termasuk di dua penerbitan yang dipimpin Adinegoro itu. Namun, saat itu saya belum membahas sastra secara intens. Satu-satunya esei yang saya tulis saat itu, tentang aliran romantik. Ketika saya duduk di kelas III HBS, timbul keinginan belajar jurnalistik. Saya ingin membuktikan kemampuan saya menulis. Kebetulan, saya libur dua bulan. Malam-malam, mata saya terbuka lebar memikirkan ide baru ini. Maka, esok paginya, dengan celana pendek, saya bergegas ke rumah Pak Adinegoro. Saya ketuk pintu rumahnya. Ia sendiri yang keluar mengenakan kimono. Rupanya, ia baru siap hendak mandi. “Saya ingin belajar jurnalistik dari Tuan.” “Wah, saya tak punya waktu. Tapi, kalau mau langsung praktek, datang saja ke kantor. Kau bisa belajar menerjemahkan berita-berita yang dikirim kantor berita asing, dan menyusunnya menjadi tulisan. Bagaimana? Kapan mau mulai?” “Sekarang, Tuan,” jawab saya mantap.
Hari itu juga saya berkenalan dengan dunia jurnalistik. Dimulai dari menerjemahkan macam-macam berita dari kantor berita Aneta (yang kemudian menjadi Antara), kemudian belajar memperbaiki dan mengedit hasil laporan wartawan. Saya juga belajar membuat reportase, stenografi, dan sekaligus memotret. Lama-kelamaan saya dipercaya ikut menonton review film-film baru. Karena saya lagi magang, saya tak mendapat gaji. Tapi saya merasakan manfaat jurnalistik yang luar biasa. Terlebih lagi setiap kali tulisan saya dimuat, saya mendapatkan honorarium satu ringit — jumlah yang besar pada masanya.
1939 Masa HBS usai.
Sebuah telegram dari Gorontalo dan kiriman uang 75 gulden menginginkan kedatangan saya. Dalam perjalanan pulang ke Gorontalo, saya mampir di Batavia, menginap di rumah keluarga Daud di kawasan Petojo. Saya ajukan keinginan saya yang sangat, untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sastrawan yang namanya sudah menjulang saat itu.
Pertemuan pertama mengesankan. Kami berbicara, berbicara, dan berbicara. Kami sama-sama saling melontarkan pendapat tentang majalah Pujangga Baru, tentang kesusastraan, dan tentang bahasa. Bahkan, kami sudah sempat terbelit dalam sebuah perdebatan. “Bahasa Belanda lebih enak digunakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Tidak,” kata Takdir dengan tegas dan mata berkilat. Kilat mata yang masih terus terlihat hingga kini di usianya yang sudah mencapai 82 tahun. Saya bersikeras bahwa bahasa Belanda lebih enak di lidah. Ketika saya berlayar menuju Gorontalo, sesuatu yang lucu terjadi. Rupanya, surat Takdir juga ikut berlayar di kapal yang sama — begitu saya mendarat, saya menerima suratnya. “Di Balai Pustaka ada lowongan untuk pendidikan Hoofdredacteur (pimpinan redaksi). Jika Tuan berminat, datanglah,” bunyi surat itu. Namun, kegembiraan saya akan tawaran itu harus saya tunda karena keinginan Ayah yang berlainan. Saya harus tinggal beberapa lama di Gorontalo, untuk magang di kantor asisten residen. Sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan. Mengayuh sepeda, bermandi peluh pulang-pergi kantor. Dan setiap akhir bulan, saya hanya menonton rekan-rekan pegawai menghitung lembaran gaji mereka. Tapi, tentu banyak juga yang saya pelajari di kantor ini. Antara lain, bagaimana caranya berkorespondensi yang baik dan melakukan pengarsipan.
Rupanya, kerja administratif inilah yang kemudian membekali saya belajar mendokumentasikan karya-karya sastra di kemudian hari. Tapi, saya merasa itu bukanlah tempat saya. Saya lelah. Dan saya harus ke Batavia untuk bekerja di Balai Pustaka. Ketika akhirnya saya sampaikan keinginan yang tak tertahankan ini, Ayah tak membantah. Maka, saya pun berlayar kembali ke Batavia. Batavia Pagi hari, 1 Februari 1940. Di kantor redaksi Balai Pustaka, Takdir mengerutkan keningnya, “Tuan siapa?” tanyanya memandangi pemuda berjas dan berdasi yang berdiri di hadapannya. Saya tunjukkan suratnya setelah berlayar bersama saya ke Gorontalo, barulah wajah Takdir mengembangkan senyum, “Ah, ya, ya, ya….”
Hari itu juga, saya duduk bersama-sama. Tulis Sutan Sati, Armijn Pane, Aman Dt. Modjoindo, Nur Sutan Iskandar, dan, tentu saja, Takdir Alisjahbana. Saya segera ikut dalam tim untuk meresensi buku-buku yang kemudian dikirimkan ke berbagai media. Resensi ini saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan semangat saya mendokumentasikan tulisan-tulisan itu baru terlihat gunanya kemudian ketika semuanya dikompilasikan menjadi Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei yang kemudian mencapai empat jilid. Armijn juga sangat bersemangat memperkenalkan saya kepada banyak pemikiran Barat. Terutama dengan Freud, nama yang begitu banyak mempengaruhi penulisan Armijn dalam romannya, Belenggu, karya sastra Indonesia pertama yang menggunakan segi psikologi dalam.
Armijn juga menganjurkan saya membaca buku-buku filsafat. Begitu lengkapnya perpustakaan Balai Pustaka, hingga saya berkesempatan menjelajahi pemikiran-pemikiran Schopenhauer, Nietzsche, dan beberapa pemikir eksistensialis. Saya mempelajari intensitas hidup Nietzche melalui karyanya Also Sprach Zarathustra. Inilah pemberontakan terhadap moral dan pendidikan di Eropa yang saat itu dibelit oleh doktrin agama Kristen. Lalu, saya baca pula Schopenhauer. Dia bertentangan dengan Nietzsche. Dunia ini maya, demikian Schopenhauer. Tidak, tolak Nietzsche, dunia ini bukan impian. Dunia ini kita. Manusia. Kitalah yang memutar dunia ini.
Sementara itu, eksistensialisme mendarat di Indonesia sekitar tahun 1945. Saya pun berkenalan dengan Sartre, Camus, juga pemula-pemulanya. Tentu saja, tak hanya pemikiran Barat yang saya geluti masa itu. Saya juga membaca filosof India, seperti Krishnamurti. Kebetulan, waktu itu saya bergabung dalam perkumpulan teosofi Blavatsky Park. Apa yang saya dapatkan dari teosofi? Perasaan bebas. Kebebasan. Suatu perasaan yang amat langka didapatkan dan diberikan. Satu hal yang saya ingat ialah: janganlah kita memaksakan anak-anak kita untuk menjadi apa yang kita kehendaki. Kenapa? Lihatlah alam sekitar kita. Begitu ragam pohon-pohon yang bertumbuhan di sekeliling kita. Ada pohon kelapa, ada pohon mangga, dan yang lain-lain. Mereka semua tumbuh secara alami menurut kodratnya. Tak bisa kita paksakan pohon-pohon ini menjadi pohon yang kita kehendaki. Jalan pikiran ini sangat meresap ke dalam diri saya. Selain kebebasan, saya juga belajar menemukan diri sendiri. Saya belajar membebaskan dan menempatkan diri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari perkumpulan ini. Jadi, inilah dokumen kehidupan saya di tempat saya mengembara dalam berbagai alam pemikiran. Dari kiri, kanan, utara dan selatan. Saya larut di dalamnya, tapi terlepas dari pertentangan-pertentangan di antara mereka. Karena itu, semua pertentangan di antara berbagai pemikiran filsafat itu tetap harmonis dalam diri saya.
Karena sikap saya pada pemikiran-pemikiran ini tak lepas dari keinginan untuk mempelajari perkembangan zaman. Saya tak ingin seperti Sutan Takdir yang, menurut saya, tak mau menghargai perkembangan-perkembangan generasi muda. Misalnya sikap Takdir yang sulit sekali menghargai penemuan-penemuan dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Selain sikap ingin mengikuti perkembangan zaman, keharmonisan dalam diri ini juga didukung oleh penghayatan saya terhadap isi Al Quran. Rasanya, pemikiran Barat mana pun tak akan mengganggu religiusitas saya. Ini adalah sebuah proses penghayatan yang sangat berbeda. Saya sangat yakin bahwa apa yang tersebut dalam Al Quran itu adalah ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Lihatlah, isinya begitu luas. Begitu tinggi. Begitu dalam. Dan bahasanya sangat indah. Tak ada satu bagian pun yang kurang dari bagian yang lain dalam kebenaran dan keindahannya. Jadi, biarlah Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”, atau Lekra memaki-maki saya. Tapi, isi tubuh dan batin saya sangat penuh dengan keyakinan saya pada ayat-ayat Allah.

Bagikan artikel ini :

Posting Komentar

 
Didesain oleh : Widi Eko Cahyanto
Copyright © 2013. BAHASA INDONESIAKU - All Rights Reserved
Bahasa menunjukkan kepribadianmu.
Proudly powered by Blogger