Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.
Selain
menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak
akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah
dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung
Merah Kirmizi.
Dalam karya fisiknya,
sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah
jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa,
selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan
novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini
rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan
menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan
mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya diluar
budayanya. Diluar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang
berceramah teologi.
Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “ , dan lain-lain.
Remy
Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan
Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan
Sekolah Tinggi Teologi.
Posting Komentar